Sejak pagi itu, semesta seakan ingin menguji kesabaran kami sebelum benar-benar menjadi tamu Allah. Pukul sepuluh pagi kami berangkat dari Subang dengan hati penuh antusias. Koper sudah siap, doa-doa sudah dilangitkan. Namun perjalanan belum dimulai, drama sudah lebih dulu menyapa.
Kami singgah ke Bogor, menziarahi orang tua almarhumah istri hingga menjelang siang. Hati terasa sendu, namun juga penuh harap—seolah meminta restu untuk perjalanan suci ini. Selepas itu kami menuju rumah kakak ipar yang ikut umroh bersama. Di sanalah notifikasi pertama datang: penerbangan diundur dari pukul sepuluh malam ke tengah malam. Belum sempat bernapas, perubahan jadwal kembali masuk, lalu berubah lagi. Hati dibuat jungkir balik.
Akhirnya, menjelang magrib kami memutuskan berangkat ke bandara. Demi kepraktisan, saya memilih naik Grab dan meninggalkan mobil di rumah saudara. Keputusan itu rupanya menjadi pembuka ujian berikutnya. Tergesa-gesa turun dari mobil, tas kecil berisi dompet, ATM, dan seluruh kartu penting tertinggal di dalam Grab. Dunia seakan berhenti sesaat. Untungnya, paspor ada di tangan istri. Saya hanya bisa menghela napas panjang dan mencoba menenangkan diri.
Sesampainya di bandara, penerbangan kembali diundur. Hati sedikit lega, sampai akhirnya kami hendak check-in dan mendapati nama kami tidak ada di sistem. Panik. Ternyata data Garuda belum sinkron dengan maskapai Saudia. Beberapa jam terasa sangat panjang. Setelah komunikasi intens antarpetugas, barulah nama kami muncul dan kami bisa check-in. Saat itu rasanya seperti baru saja lolos dari jurang.
Kami berangkat tengah malam dan mendarat di Jeddah pagi hari. Proses imigrasi berjalan lancar, hanya visa yang dicek. Kami langsung bertemu driver bus dari muassasah dan menuju Makkah. Hotel belum bisa menerima kami, koper dititipkan, dan kami langsung menunaikan umroh. Di sanalah lelah perlahan luruh. Tawaf, sa’i, dan tahallul terasa khusyuk, seolah semua drama sebelumnya hanyalah pengantar untuk merendahkan hati.
Hari-hari di Makkah kami lalui dengan syukur, meski tanpa dompet dan uang tunai. Saya terpaksa “nebeng” tarik uang dari suami Mbak Ratih. Thaif kami kunjungi di hari ketiga, city tour Makkah di hari kelima, lalu Madinah menyusul di hari ketujuh. Cuaca Madinah dingin menusuk, jaket harus berlapis. Badan mulai drop, pilek dan demam datang bergantian. Roudhoh kami datangi dengan tubuh lemah, namun tetap penuh harap.
Hari-hari di Madinah pun tak lepas dari drama. Ada yang sakit, ada yang kelelahan. Hingga tiba hari kepulangan, kami memilih berangkat pagi ke Jeddah agar bisa singgah sejenak. Sayangnya, kota tua Balad hanya bisa kami lihat dari balik kaca bus. Masjid terapung pun hampir gagal, sebelum akhirnya kami menemukan satu titik parkir jauh dan bisa berfoto sebentar.
Drama besar kembali dimulai di bandara Jeddah. Zamzam yang sudah dibeli tak boleh dibawa karena penerbangan domestik ke Riyadh. Bagasi yang di tiket tertulis 30 kg berubah menjadi hanya 23 kg. Kami bongkar tas, membagi beban, dan pasrah. Pesawat delay hampir satu jam, dan firasat buruk mulai terasa.
Tiba di Riyadh, waktu kami sangat sempit. Kami harus naik bus dari pesawat, menunggu lama, lalu berlari ke pengambilan bagasi. Seorang petugas bandara asal Indonesia datang menolong. Namun koper keluar sangat lama. Kami dihadapkan pada pilihan pahit: mengejar pesawat atau menyelamatkan bagasi. Dengan berat hati, kami memilih meninggalkan koper.
Kami berlari ke konter check-in, tapi terlambat. Konter sudah tutup. Badan dan pikiran terasa hancur. Air mata nyaris jatuh. Alhamdulillah, petugas Indonesia itu kembali membantu. Dengan akses khusus, kami bisa masuk lagi dan akhirnya mengambil koper yang tertinggal.
Pilihan selanjutnya tidak mudah. Tiket baru mahal, dan kami harus memastikan bagasi bisa masuk hingga Jakarta. Setelah berpikir panjang, kami memilih penerbangan Qatar Airways keesokan sore. Artinya, kami harus bermalam di bandara dalam kondisi seadanya. Dinginnya bandara, kursi keras, makanan mahal, dan tubuh yang sakit menjadi teman semalam suntuk.
Keesokan harinya, check-in Qatar terasa seperti mukjizat kecil. Semua bagasi masuk. Kami terbang ke Doha, transit delapan jam di bandara yang ramah dan nyaman. Di sanalah kami benar-benar bisa bernapas lega. Ada yang beristirahat, ada yang sekadar berjalan menikmati cahaya bandara.
Pukul dua dini hari kami terbang ke Jakarta, dan mendarat dengan selamat sore harinya. Lelah, tapi hati penuh syukur.
Kisah ini tidak akan lengkap tanpa rasa terima kasih. Terima kasih yang tulus saya sampaikan kepada Mbak Yeni, yang telah menyediakan fasilitas grup sebagai ruang berbagi ilmu dan pengalaman umroh mandiri—tempat kami belajar, bertanya, dan saling menguatkan. Juga terima kasih kepada Teh Anggi, yang dengan sabar membantu pengurusan visa dan pengadaan bus dari muassasah, sehingga banyak urusan terasa lebih ringan.
Inilah kisah umroh kami—penuh drama, air mata, dan pelajaran. Untuk jamaah mandiri, satu pesan penting yang ingin kami titipkan: hindari mengambil rute multicity dengan waktu transit atau pindah pesawat yang terlalu singkat. Ambillah jeda waktu yang panjang, lima jam atau lebih, agar perjalanan lebih tenang, tidak dikejar-kejar waktu, dan ibadah tetap terjaga khusyuknya.
Meski penuh ujian, insyaAllah tidak kapok. Kami justru belajar bahwa di balik setiap kekacauan, selalu ada pertolongan Allah yang datang tepat waktu. Dan dengan izin-Nya, tahun depan kami berharap kembali menjadi tamu Allah—dengan cerita yang lebih ringan, langkah yang lebih tenang, dan hati yang lebih siap.
Karena tiket hampir sama dengan keluarga Pak Fery akan tetapi Pak fery pulangnya beda beberapa hari, jadinya lebih siap. Ini cerita pak feri
Alhamdulillah, kami 1 keluarga sdh landing di indo, untuk rute CGK-JEDD, JEDD-RUH-JEDD-CGK
Pada awal ny Sy mengira klo rute balik ny itu JEDD-RUH-CGK, ternyata mesti ke Jeddah lagi, tp ya sdh terlanjur kita jalani sj, kita 1 group total 14 orang bersama2 Kang Iqbal dkk. Namun perjalanan pulang berbeda tanggal, Kang Iqbal dkk tanggal 14, kami tanggal 16. sampai kmren saat perjalanan pulang dapet info klo rombongan Kang Iqbal dkk miss flight Dari RUH-JEDD-CGK karena ad ny delay Dari JEDD-RUH..
Ternyata betul saat di bandara jeddah problem Dari tiket Multicity berbeda dengan transit, karena harus collect bagasi secara manual, jadi penerbangan JEDD-RUH tidak dihitung sebagai penerbangan transit lanjutanke RUH-JEDD-CGK, tapi di anggap penerbangan domestik yg berbeda sehingga kita ga bisa bawa ZAM2 Dan harus collect bagasi secara manual, setelah dapat info Dari Kang @Iqbal Januari mengenai problem ini, saya mengubah bagasi menjadi hanya 2 koper saja yg masuk bagasi, sisa ny saya bawa ke kabin kebetulan koper yg lain ny kecil2 hanya 2 koper besar, Dan advice Dari mb @Mba Andini koper tsb minta priority baggage, alhamdulillah ny org saudia di Counter checkin sangat2 membantu bahkan bolak balik bantu mengusahakan untuk mengubah tiket tersebut, karena menurut mereka waktu sekitar 3 jam ,17.55-19.35 Jedd-Ruh lanjut 23.00 ruh-jedd itu agak riskan karena harus collect manual Dan mungkin ada keterlambatan lain. Namun karena tiket ini adalah tiket Garuda yg di book di trip, tapi pesawat ny saudia maka mereka tidak bisa bantu. Tlp trip di lempar ke Garuda, tlp Garuda di lempar ke saudia, tp org saudia bilang ini bukan tiket kami.
Akhirnya kami tetap jalani rute ini, saya catat waktunya alhamdulillah semua on time,
19.35 landing, turun pesawat naik bus cukup jauh,
19.50 ambil bagasi langsung keluar Dan cuma 2 Jd ny cukup cepat, lari ke arrival, masuk Lg ke Check in counter pkl 20.02 20.20 selesai,
21.00 sdh di ruang tunggu, pkl 22.05 boarding dimulai, 22.30 close boarding 23.10 take off
Klo jarak ny 3 jam Masih cukup riskan jika ad delay, untuk 4 jam ke atas insyaallah aman.
PR selanjut ny adalah ZAM2, pd awal ny saya beli ZAM2 atas arahan orang saudia di Counter checkin, ternyata tidak bisa di bawa, akhirnya ZAM2 saya jual kembali ke org indo, setelah landing Dari RUH-JEDD ada waktu ad waktu 2 jam, lari keluar beli ZAM2 lalu checkin kembali, karena jarak gate cukup jauh Dari awal perjalanan pulang ini, diisi lari sana lari sini..
kapok beli tiket yg ada operate by.. Garuda operate by Saudi Gini report bener, orang saudia ny bilang mereka mau ubah langsung direct JEDD-CGK jika mereka bisa, karena ini tiket Garuda mereka ga bisa bantu..
Mudah2an ad pelajaran yg bisa diambil untuk kedepan ny 😅
Lanjutan kisah pak iqbal
**Cerpen Perjalanan Umroh – Part 2:
Di Antara Panik, Doa, dan Jawaban Langit**
Pesawat akhirnya menyentuh landasan tanah air pada Selasa sore, 16 Desember, tepat pukul 15.30. Sebuah waktu yang terasa begitu syahdu—antara lega, letih, dan rindu yang telah sampai ke ujungnya. Kami tidak banyak bicara. Setelah kaki menjejak bumi, yang pertama kami cari bukan koper, melainkan sajadah. Zuhur dan Asar kami jamak takhir, sebagai ungkapan syukur sederhana: kami pulang dengan selamat.
Keluar melalui autogate terasa begitu lancar, seolah Allah benar-benar sedang membuka jalan. Namun, kelelahan mulai terasa saat menunggu koper yang tak kunjung datang. Tubuh lelah, mata berat, tapi hati masih bertahan.
Drama justru dimulai setelah koper-koper itu akhirnya berkumpul. Empat koper besar—semuanya penuh oleh-oleh. Saya dan istri memutuskan berpisah dari rombongan. Istri membawa satu koper kabin, sementara saya… tiga koper besar dan satu tentengan. Di sanalah, pelan-pelan rasa panik mulai menyelinap.
Menjelang pemeriksaan bea cukai, dada terasa semakin sempit. Dalam empat koper itu, ada puluhan parfum—mungkin tiga puluh, mungkin empat puluh. Dari yang biasa sampai parfum Madawi yang terkenal itu. Pikiran langsung melayang pada kisah-kisah influencer yang viral karena denda puluhan juta. Keringat dingin mulai turun.
Belum sempat menenangkan diri, petugas memisahkan saya dari istri.
“Mohon Bapak ke arah kanan untuk pemeriksaan.”
Kalimat itu terasa seperti palu yang menghantam dada. Hati tidak enak. Pikiran kalut. Dalam hati saya bertanya lirih, “Ujian apa lagi ini, ya Allah?”
Namun kaki tetap melangkah. Saya mencoba berjalan setenang mungkin di antara petugas. Satu per satu koper masuk ke mesin X-ray. Saya berdiri, berdoa tanpa suara, komat-kamit tanpa henti.
Saya melihat penumpang di depan saya—koper mereka dibongkar, isinya diacak, wajah-wajah tegang berseliweran. Saya semakin khusyuk berdoa.
“Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).”
(QS. At-Talaq: 3)
Ajaibnya, petugas tampak asyik mengobrol. Monitor X-ray seperti tak benar-benar diperhatikan. Begitu koper keluar, saya bergerak cepat. Semua sudah di troli. Tanpa menoleh ke belakang, saya berjalan—hampir berlari—meninggalkan area itu. Saya menahan diri untuk tidak mendengar apa pun, tidak menoleh, tidak menunggu.
Dan…
Alhamdulillah.
Kami keluar dengan selamat. Tanpa pemeriksaan lanjutan. Tanpa satu pun koper dibuka.
Sekitar pukul lima sore, kami berpamitan dengan kakak ipar dan teman seperjalanan. Dua di antaranya sesama jamaah umroh, kebetulan orang Karawang. Kami tawarkan tumpangan, dan mereka setuju. Di Karawang, kami sempat singgah di warung bakso—Bakso Titoti. Setelah berminggu-minggu di tanah Arab, semangkuk bakso hangat terasa seperti nikmat yang lama dirindukan. Kami mengobrol singkat, tertawa kecil, melepas tegang.
Setelah mengantar mereka pulang, kami langsung meluncur ke rumah. Tidak mampir ke mana pun. Pukul sepuluh malam, akhirnya tubuh ini bersua dengan ranjang. Tidur terlentang. Habis.
Baru Kamis pagi, pikiran ini benar-benar jernih. Saya membuka mata dengan perasaan yang lebih tenang, lalu menulis kisah umroh Part 1. Pukul sembilan pagi, tulisan itu saya bagikan ke grup Shaum Mbak Yeni—sekadar pelajaran dan pengingat.
Responsnya mengalir. Banyak yang menguatkan, ikut sedih, ikut pasrah. Hingga pukul satu siang, sebuah pertanyaan sederhana dari Mbak Andini tentang refund membuka kembali harapan yang hampir mati. Mbak Yeni menyarankan saya mencoba menghubungi maskapai.
Saya pun menghubungi Trip.com. Awalnya terasa kaku, seperti berbicara dengan mesin. Bot demi bot. Hingga akhirnya tersambung dengan petugas. Saya ceritakan kronologi penolakan check-in di Riyadh, melampirkan boarding pass, menyusun kata demi kata dengan hati-hati.
Trip.com bergerak cepat. Mereka menelepon, mendengarkan, memahami. Saya diminta menunggu. Namun Sabtu sore, kabar yang datang belum menggembirakan. Refund belum bisa dilakukan. Harapan mulai pupus. Dalam perjalanan dari Bandung ke Subang, hati terasa kosong. Saya berhenti di rest area, menikmati dinginnya Sariater, mencoba menghubungi Garuda lewat chat—dan gagal lagi.
Saya pulang dengan hati yang hampir menyerah. Malam itu, saya memilih tidur dan pasrah.
Namun Minggu pagi, 21 Desember, entah dari mana, optimisme itu kembali. Pukul sepuluh, saya menelpon Garuda langsung. Dan di situlah Allah membuka pintu lain.
Petugas Garuda mendengarkan dengan baik. Mereka memeriksa data, memahami kronologi, dan akhirnya berkata dengan tenang:
“Tiket Bapak bisa direfund 100 persen.”
Saat itu rasanya seperti hidup kembali. Saya segera menghubungi Trip.com. Proses berjalan. Kurang dari 24 jam, kabar baik datang. Sore hari, email masuk. Aplikasi meminta data rekening. Status berubah: refund on process.
Senin pagi, sekitar pukul sembilan, Trip.com menelpon lagi.
“Apakah dana sudah diterima, Pak?”
Saya membuka mutasi rekening.
Dan di sanalah—angka itu benar-benar masuk.
Air mata tak bisa ditahan.
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Semua urusannya baik baginya. Jika ia ditimpa kesulitan, ia bersabar, maka itu baik baginya.”
(HR. Muslim)
Saya bersyukur tanpa henti. Berterima kasih kepada Mbak Andini yang memantik harapan, Mbak Yeni yang menyemangati, dan seluruh anggota grup Shaum yang menguatkan dengan doa dan empati.
Perjalanan ini mengajarkan satu hal penting:
bahwa pulang dari umroh bukan berarti ujian selesai.
Kadang, ujian justru menunggu di rumah—untuk menguji seberapa lama kita mampu percaya.
“Terkadang Allah menunda bukan karena menolak, tetapi karena Dia ingin engkau lebih lama mengetuk pintu-Nya.”
— Ibnu Athaillah As-Sakandari
Akhir kata, saya berharap siapa pun yang berjalan bersama kami dalam perjalanan ini tidak kapok, dan berkenan memaafkan segala khilaf kata maupun sikap.
Karena sejatinya, perjalanan ini bukan tentang tiket, koper, atau refund.
Melainkan tentang iman yang diuji, doa yang tak putus, dan hati yang akhirnya belajar ikhlas.
0 Komentar